Sejarah Desa Kelating

Menurut cerita dari tetua Desa Kelating yang ditunjang dengan beberapa bukti berupat Lontar “Pabancangah” bahwa keberadaan Desa Kelating sudah cukup tua yang berawal dari pantai membujur dari Barat ke Timur. Sebelum memiliki nama Desa Kelating, Desa Kelating memiliki nama “Desa Kwa Kala”. Nama tersebut diberakan oleh pendatang yang menetap disekitar Pantai dan goa kelelawar, para pendatang tersebut menepat di sana dikarenakan kondisi geografis sekitar memiliki tanah yang subur dan alam yang indah. Kemudian atas seijin yang Maha Kuasa, perlahan-lahan hutan bambu yang menyelimuti dataran sekitar dirabar dan dijadikan pemukiman. Pemukiman tersebut di dirikan mulai dari sebelah barat perbatasan Sungai Ho hinga sebelah timur Sungai Abe, wilayahnya meliputi Desa Kelating dan Desa Tibubitu yang sekarang.

Sesuai dengan persyaratan terbentuknya suatu Desa Pekraman, maka Desa Kwa Kala berbenah untuk memenuhi azas “Tri Hita Karana”. Salah satu unsur yang belum ada adalah unsur “Parhyangan”. Maka dari itu Desa Kwa Kala mulai membangun khayangan keluarga sanggah atau bisa juga disebut pemerajan, Pura Puseh, dan Pura Khayangan Desa. Setelah dibagunnya Khayangan keluarga, Pura Puseh, dan Pura Khayangan Desa tersebut, kehidupan penduduk Kwa Kala berjalan seperti sebelumnya sangat Sejahtera dan bahagia karena didukung oleh alamnya yang sangat subur. Setelah sekian lama penduduk Desa Kwa Kala menikmati kesejahteraan dan kebahagiaan, barangkali sudah kehendak Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Desa Kwa Kala ditimpa wabah penyakit yang menyebabkan banyak penduduk yang jatuh sakit dan banyak juga penduduk yang meninggal. Kejadian tersebut terjadi pada tahun 1419 caka atau 1497 Masehi. Pada saat Desa Kwa Kala ditimpa kesedihan, datanglah seorang Rsi Agung yang Bernama Ida Rsi Bujangga Arca Subrata yang berasal dari Desa Jati Kusuma atau yang sekarang disebut Desa Jatiluwih. Dengan tujuan darmayatra ke segara, Beliau dimintai pertolongan oleh penduduk desa Kwa Kala agar mereka terbebas dari wabah penyakit yang sedang melanda.
Setelah dimintai pertolongan oleh penduduk Desa Kwa Kala, Ida Rsi Bujangga Arca Subrata pun meminta warga Desa untuk membuat upacara mecaru dan membuat banten caru untuk dihaturkan di masing-masing perempatan agung, pertiggan agung, di pinggir laut, serta di tempat-tempat suci lainnya. Setelah upacara mecaru tersebut dihaturkan oleh Ida Rsi Bujangga Arca Subrata, berselang beberapa hari kemudian keadaan desa Kwa Kala perlahan-lahan membaik dan akhirnya Desa Kwa Kala pulih kembali terbebas dari wabah penyakit yang melanda untuk waktu yang lama.

Dalam lontar Tabacangah terdapat bait yang berkata: “Mwah ta ri Lampah Ira Ida Bhujangga Rsi Arca Subrata Jumujug Ring” “Kwa Kala”, tur amarisudha bhumi ika, Kwa Kala Ngaran Bhuta, te ngaran idep, semangkana pakilin Bumi iki sapa arane sasuhunan? Warahen dena ngulun! Ah kita wong bhumi Kwa Kala sedaya, ranggen wuwus mani ri kita “KALATING” denaranin bhumi iki, aparan ta doning mangkana? Satwening Ida Bhujangga weruh Ring tingkahing amuja, mwah papa pataka, kalabhuta, mangkana ling ira Sang Bhujangga Rsi Arca Subrata umadeg yeku pinungsung denung wong kabeh, lamakane kerta swastya ikang rat”.

Jika diartikan, maka kutipan lontar diatas menjelaskan asal usul pergantian nama Desa Kwa Kala menjadi Kalating bermula dari keberhasilan Ida Rsi Arca Subrata mengusir wabah penyakit. Kemudian atass permohonan warga setempat Beliau berkanan menganugrahkan nama dengan maksud agar pengalaman pahit yang pernah dialami tidak terulang lagi dan tidak diingat-ingat kembali. Kata Kalating berasal dari tiga patah kata yaitu Kwa artinya tempat, Kala artinya Bhuta, ting artinya sirna atau hilang. Dengan demikian kata “KALATING” berarti suatu tempat yang bebas dari segala penyakit atau parah Bhuta kala, maka kata “KALATING” memiliki makna Kawasan yang bersih dan suci.

Kisah Hitamnya Pasir Pantai Kelating

Dahulu kala, gunung berapi yang perkasa, Gunung Batukaru, jatuh cinta dengan sangat dalam kepada Dewi Laut, sang dewi samudra. Namun Dewi Laut, yang terikat oleh tugasnya menjaga ombak, dengan lembut menolak cinta Batukaru.

Hancur hatinya dan dipenuhi amarah, Batukaru meletus dengan kekuatan yang tak terbayangkan, melemparkan hatinya yang membara ke laut. Saat hati yang menyala itu menghantam ombak yang mengamuk, ia hancur menjadi kepingan-kepingan tak terhitung, bercampur dengan air mata Dewi Laut.

Air mata dan abu itu pun menyatu, berubah menjadi pasir hitam berkilau di Pantai Kelating—sebuah simbol abadi dari cinta yang tak kesampaian dan amarah yang telah reda. Hingga kini, dipercaya bahwa pasir itu berkilau paling terang saat matahari terbenam, seolah-olah gairah Batukaru masih bersemayam di sana.

Sejarah Goa Kelelawar

Goa kelelawar yang berada di ujung sebelah barat Pantai kelating diyakini oleh umat Hindu memiliki kekuatan gaib atau memiliki energi magis. Karena hal tersebut banyak pengunjung yang datang ke goa kelelawar untuk bersemadhi. Menurut cerita turun temurun dari tetua di desa kelating, dipercaya pada jaman dahulu kala disekitar Pantai dan goa kelelawar tersebut terdapat pohon bambu yang sangat lebat sehingga alam lingkungannya merupakan belantara bambu.....

Selengkapnya